Notification

×

Waspada Hoaks Soal Aspartam, Ini Faktanya Menurut Ahli dan Lembaga Resmi

1 Juli 2025 | Juli 01, 2025 WIB Last Updated 2025-07-03T16:32:21Z

 

Pesan berantai soal bahaya aspartam kembali beredar (Foto: Istimewa)

JAKARTA, indinews.id - Isu mengenai bahaya aspartam kembali beredar luas di media sosial dan aplikasi percakapan. Pesan berantai itu menyebutkan daftar panjang produk minuman yang diklaim mengandung aspartam dan dituding dapat memicu kanker otak, pengerasan sumsum tulang, hingga diabetes.


Namun, pakar kesehatan menegaskan bahwa informasi tersebut adalah hoaks lama yang terus berulang, tanpa dasar ilmiah yang kuat.


Aspartam merupakan pemanis buatan rendah kalori yang telah digunakan secara global selama lebih dari 40 tahun. 


Dengan tingkat kemanisan sekitar 200 kali lipat dibandingkan gula, zat ini banyak dimanfaatkan dalam produk seperti minuman ringan, minuman energi, suplemen, hingga obat-obatan, karena dapat memberikan rasa manis tanpa menambah kalori berlebih.


“Penggunaan aspartam cukup umum, terutama bagi individu yang sedang menjalani program penurunan berat badan atau mengurangi asupan gula karena alasan kesehatan,” ujar dr. Gia Pratama, dokter sekaligus kreator konten kesehatan yang juga menjabat Kepala Instalasi Gawat Darurat di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta Selatan, dalam keterangan resmi yang diterima Selasa (1/7/2025).


Aspartam termasuk bahan tambahan pangan yang paling banyak diteliti oleh lembaga nasional maupun internasional. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM), Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), hingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan aspartam aman dikonsumsi selama dalam batas konsumsi harian yang dianjurkan.


“Saya ingin menekankan pentingnya edukasi publik soal konsumsi pemanis buatan. Penggunaannya tetap harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan dikonsumsi dalam batas wajar,” tambah dr. Gia.


Terkait pesan berantai yang menyebut aspartam sebagai penyebab berbagai penyakit, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui situs resmi Kementerian Komunikasi dan Digital telah menegaskan bahwa informasi tersebut tidak benar. Nama dokter yang dicatut dalam pesan itu juga dipastikan tidak terdaftar sebagai anggota IDI.


“Setiap pernyataan resmi IDI selalu dikeluarkan melalui kanal resmi dengan kop surat, tanda tangan ketua umum, dan dapat diverifikasi publik,” jelas pernyataan IDI.


Penyebaran informasi palsu, khususnya terkait makanan dan minuman, tidak hanya dapat memicu kepanikan publik, tetapi juga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap produk yang sebenarnya aman dan teruji. 


Bahkan, pelaku penyebar hoaks dapat dikenakan sanksi hukum. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat 1 menyebutkan, siapa pun yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dapat dipidana penjara hingga 6 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.


“Menjadi sehat bukan cuma soal menghindari gula, karbohidrat, atau bahan kimia, tetapi juga menjauhi informasi yang menyesatkan. Di tengah derasnya arus hoaks, sikap kritis adalah bagian dari gaya hidup sehat,” pungkas dr. Gia.


Ayo Bijak, Cari Informasi dari Sumber Terpercaya. Sebagai konsumen, masyarakat dihimbau untuk tidak mudah percaya pada pesan berantai yang tidak jelas sumbernya. 


Untuk mengetahui informasi yang akurat terkait keamanan pangan, masyarakat disarankan merujuk ke situs resmi BPOM, WHO, atau berkonsultasi langsung dengan tenaga medis profesional.


(sab)

CLOSE ADS
CLOSE ADS
close